Tuesday, October 27, 2015

#pulang

Selasa malam, di sebuah kedai kopi di daerah Sunset Road, Bali.

"Green Tea Latte, grande ya. Pake free ini, bisa?" tanyaku sambil menyodorkan kartu member berwarna hijau itu.
"Bisa, yang panas?" tanya barista perempuan yang sepertinya terlihat lelah namun tetap tersenyum itu.
Akhirnya transaksi 'gratisan' itu berhasil. Sayapun segera mencari tempat duduk paling pe-we di kedai kopi itu: Tempat duduk lesehan menghadap ke jalan raya.

Yah, seenggaknya beginilah sekarang saya menikmati hidup selama di Bali. Memutuskan untuk tidak melanjutkan pekerjaan music director di salah satu radio di Surabaya yang lagi bagus-bagusnya, pulang ke Bali, tidak (boleh) bekerja. Back then, 4 tahun saya bekerja di Surabaya, nggak mengenal libur, hampir 13 jam di kantor. Sekarang, 24 jam hidup saya di rumah, nonton TV, nonton gosip, main cookie run, nyetrika, nyapu, kadang masak, dan jadi supir untuk mama dan adik perempuan saya.

Hidup itu kadang gitu ya?
Terkadang kita harus menjalani kehidupan yang 180 derajat berbeda.

Oh ya, saya pernah sakit parah selama di Bali, dan indikasinya adalah karena saya stress-tidak-bekerja.
Haha. Lucu.

Seenggaknya itulah gambaran bab hidup saya yang lagi saya jalanin berjudul #pulang. Pulang ke Bali, rumah saya, bersama orang tua, keluarga, nenek, dan saudara-saudara saya yang jumlahnya setengah Bali. Meski judulnya "pulang" - 'ke rumah", tapi jujur, disini saya malah jadi asing. 8 tahun jarang pulang malah bikin saya seperti outsider yang harus adaptasi lagi dengan keadaan Bali yang so much different.

Tapi seperti kata iklan televisi yang sempet sepintas saya denger. Plus Minus. Dalam semua yang baik, pasti ada yang belum tentu baik. Begitupun dengan yang buruk, pasti ada hal baik yang tidak kita duga. Persis, disaat saya menulis tulisan ini, saya mencoba mengetahui, kenapa saya harus pulang.

Papa, Mama, Adek kangen.

Di balik semua yang mungkin dirasakan "memanfaatkan-kehadiran-anak-pertama", ternyata 8 tahun nggak pulang itu lama loh. Apalagi mama, yang pernah cerita-cerita sama aku dari jam 9-2 pagi. Akunya udah ngantuk-ngantuk, si mama masih aja nyerocos, saking kangennya. Belum lagi adek perempuan yang baru puber, yang pengen ini-itu-tapi-nggak-diijinin-mama-papa-akhirnya-minta-ke-gue. Hahaha. Mereka kangen. Banget.

Berhemat.
Sepele sih. Tapi aku bener-bener ngerasain arti dari 10.000 rupiah disini. Kalau di Surabaya mungkin udah dihambur-hamburin kali duitnya. Sekarang 2 bulan lebih udah nggak bekerja yang artinya nggak ada penghasilan. Terus, selama ini duitnya dari mana? Oh tentu dari gaji terakhir yang aku dapet, dan gaji terakhir yang aku dapat cuma setengah dari gaji biasanya. Whoa, rekor baru ya buat aku. Biasanya gaji sebulan, nggak sampe sebulan udah abis, di Bali gaji setengah bulan bisa buat bertahan sampai 2 bulan. Selamat, Cung, anda layak dapat bintang.

Dan untuk pertama kalinya saya merasakan deg-degan-nunggu-panggilan-kerjaan. HAHAHAHAHAHAHA. Ini jujur, dari 3 pekerjaan pertama saya (dan juga 3 pekerjaan terakhir), saya nggak pernah ngelamar, jadi ini kali pertama saya deg-degan ketika ngelamar ke beberapa kantor, dan tidak kunjung dipanggil. Pfft. Saya jadi ngerasa bersyukur kalau nantinya punya pekerjaan.

3 jam sudah saya duduk di kedai kopi ini, menulis tulisan ini, sambil mendengarkan radio lama saya, radio online saya, sambil sesekali memperhatikan orang-orang di kedai kopi ini. Ada yang lagi meeting, ngerumpi, duduk sendiri sambil mainan handphone, bahkan ada yang berantem. Yah, semua orang sepertinya punya permasalahannya masing-masing. Tapi seburuk-buruknya hal yang kamu rasakan, pasti ada hal indah yang tersimpan di dalamnya.

Duh, apa mungkin nggak ada kerjaan bikin orang bijak juga?

0 shoutouts:

Post a Comment